Monday, December 29, 2014

Katakan: Dunia, Aku Hidup Kembali!



"Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi."

(Ilana Tan, Autumn in Paris)

Ada yang tahu bagaimana rasanya jatuh ke dalam kesalahan terburuk -layaknya jatuh ke dalam jurang terdalam- dalam hidup?

Aku tahu rasanya.

Sakit. Perih. Berdarah.

Setahun yang lalu, sakit itu menderaku. Sebagai seorang siswi kelas XII SMA, hari-hari-ku disibukan dengan belajar, belajar, dan belajar. Baik belajar untuk Ujian Nasional maupun Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Kala itu, aku termasuk salah satu siswi yang sangat mengidam-idamkan menjadi mahasiswi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Tiap kali ada brosur dari Perguruan Tinggi Swasta, selalu aku hiraukan. Karena tujuanku satu: Aku adalah calon mahasiswi Perguruan Tinggi Negeri 2013.

Perjalanan pertamaku dimulai. Aku mendaftarkan diri sebagai salah satu peserta "Undangan" [baca: sistem penerimaan mahasiswa baru PTN lewat seleksi nilai rapor dan tanpa tes] masuk Perguruan Tinggi Negeri 2013. Dengan percaya dirinya, aku mendaftarkan diri secara online dan mengikuti tahap demi tahap pengisian form yang disediakan.

"Undangan ini sifatnya keberuntungan, lho, ya. Jangan pernah menganggap teman yang sehari-harinya menurut kamu kurang layak, lalu gak lulus undangan. Bisa saja dia yang beruntung sedangkan kamu tidak. Pilihlah jurusan yang kamu sukai. Jangan melihat PTN-nya. Semua PTN itu baik dan bagus." Tegas Pak Nasahi, guru Bimbingan Konseling di SMA-ku dulu.

Masih segar dalam ingatanku, kala itu, aku memilih dua PTN dengan dua program studi (prodi) di masing-masing PTN. Pilihan pertamaku adalah Universitas Padjadjaran dengan prodi farmasi dan teknologi pangan. Sedangkan pilihan keduaku adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan prodi farmasi dan kesehatan masyarakat. Dilihat dari prodi yang dipilih, aku cenderung memilih farmasi sebagai prodi prioritas. Mengapa? Karena farmasi itu berhubungan dengan kimia. Dan segala yang berbau kimia itu menyenangkan, menurutku.



Ke-harap-harap-cemas-an itu selalu mendera, sampai suatu hari di bulan Mei, pengumuman itu tiba. Senyum kepercayaan diri yang semula mengembang, perlahan seolah layu. Aku tidak lulus sebagai mahasiswi di kedua PTN tersebut. Satu harapanku telah hilang. Aku tahu alasannya. Kala itu, Universitas Padjadjaran menempati peringkat pertama sebagai PTN yang paling diincar oleh calon mahasiswa baru. Sedangkan farmasi adalah jurusan yang bisa dibilang peminatnya bisa mencapai ribuan peminat di PTN seluruh Indonesia.

Dengan sekali hembusan nafas, aku membatin, "Ya, aku mengerti."

Perjalanan kedua pun aku arungi. Pada pertengahan Juni 2013, aku mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Dengan berbekal bimbingan belajar intensif di salah satu lembaga bimbel selama kurang-lebih dua bulan, aku mantap meminta tolong Pak Nasahi untuk mendaftariku menjadi salah satu peserta SBMPTN 2013. Kali ini, aku mantap memilih tiga prodi dari dua PTN. Pilihan pertama dan keduaku adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan prodi masing-masing farmasi dan kimia, dan pilihan ketigaku adalah Universitas Negeri Semarang dengan prodi Kesehatan Masyarakat.

Pada saat pelaksanaan ujian SBMPTN tiba, tak ada seorangpun yang mampu mengalahkan kuasa Tuhan. Sungguh tiada daya dan upaya selain memohon dan meminta pertolongan-Nya. Sekeras dan segiat apapun kita belajar, kalau memang Tuhan belum mengizinkan, tak ada yang bisa mengelak. Dan itu terjadi padaku. Soal ujian yang aku terima justru di luar dugaanku. Aku sudah mempelajari soal ujian SBMPTN 7 angkatan di atasku, tapi ini yang tersulit. Rasa pesimis pun menghampiriku. I think negatively.

Dan itu terbukti. Semua memang berasal dari pikiran kita. If we think we can do it, yes, we can do it! Namun sayangnya, aku sudah berpikiran negatif terlebih dahulu. Aku kembali kehilangan harapanku yang lain. Aku membatin, "Gue bodoh! bodoh! bodoh!". Aku sudah membuang-buang uang kedua orang tuaku yang sudah membiayaiku untuk ikut bimbingan tersebut. Tapi aku gagal. Gagal.

Perjalanan masih berlanjut. Kala itu, ada Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMBPTN) -yang hanya diselenggarakan oleh 13 PTN saja- dan Ujian Saringan Masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (USM STAN). Keduanya mengadakan ujian masuk di tanggal yang sama. Dan aku harus memilih. Sebagai seorang IPA, sebenarnya aku merasa canggung kalau harus ikut USM STAN. Mungkin memang materi yang diujikan adalah materi umum (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika),  tapi kalau kenyataanya aku lulus? Aku akan menyakiti perasaan ratusan ribu peserta lainnya -yang belum beruntung dan sangat mengidam-idamkan menjadi mahasiswa STAN- jika tidak menerimanya.

Sedangkan UMBPTN sendiri hanya diselenggarakan oleh 13 PTN saja. Prodi yang disediakan juga hanya untuk kursi yang masih tersisa. Dengan kata lain, kuota yang disediakan hanya sedikit. Sungguh suatu hal yang impossible kalau masih ada kursi sisa di prodi farmasi. Belum lagi, biaya pendaftarannya cukup tinggi. Bahkan melebihi biaya pendaftaran USM STAN.

Berangkat dari situlah, kedua orang tuaku menyarankan aku untuk ikut USM STAN. Menurut mereka, jadi orang perpajakan itu gajinya gede, lho. Apalagi, setelah lulus bakal langsung diangkat jadi PNS di instansi pemerintahan. Sebagai seorang yang sudah hopeless, aku meng-iya-kan saran mereka dan sesegera mungkin mempersiapkan semua persyaratan dan mendaftarkan diri secara online. Tidak semudah saat mengikuti Undangan dan SBMPTN, USM STAN ini terdiri dari 4 tahap tes masuk, dimulai dari ujian tertulis, tes fisik, tes kesehatan, dan tes wawancara. Namun, sebelum mengarah ke ujian tertulis, peserta wajib terlebih dahulu masuk dalam tahap seleksi berkas. Jika seseorang tidak lulus seleksi berkas, maka ia tidak bisa mengikuti ujian tertulis.

Kala itu, aku hampir saja termasuk dalam salah satu peserta yang tidak lulus seleksi berkas. Kejadian bermula saat namaku di KTP tidak sama dengan yang ada di ijazah. Namaku di KTP adalah Putri Nurindah Pratiwi. Sedangkan namaku di ijazah, sama dengan di akte kelahiranku, Putri Nur Indah Pratiwi. Nama benarku -yang sesuai dengan ijazah- ada di E-KTP. Kala itu, E-KTP-ku sedang dalam proses pembuatan sehingga mengharuskan aku menggunakan KTP yang lama. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, keringat bercucuran, dan tanganku pun terasa dingin. Aku panik. Untung saja, alasanku bisa diterima oleh pihak penyeleksi, walaupun dengan syarat harus membuat surat keterangan dari RT/RW -kalau namaku adalah Putri Nur Indah Pratiwi- dan wajib dibawa pada saat ujian tertulis.

Pagi hari, Minggu, 21 Juli 2013. Hari ke-11 di bulan Ramadhan. Aku bersama ketiga temanku pergi bersama menuju USM STAN tahap pertama, yaitu ujian tertulis yang bertempat di salah dua sekolah di Jakarta. Aku di SMP, sedangkan ketiga temanku di SMA yang memang berdampingan dengan SMP tempatku ujian. Semula aku mengira bahwa inilah awal dari kebangkitanku, namun ternyata... inilah awal aku terjatuh.

Di malam hari sepulangnya aku USM STAN, aku merasa sekujur tubuhku panas, tapi aku kedinginan. Aku menggigil. Ketika pagi menjelang, aku meminta tolong ibuku untuk membuatkan teh panas dan mengatakan kepadanya bahwa aku tidak enak badan. Teh yang seharusnya terasa manis di lidah, nyatanya tak bisa kurasakan. Pahit. Semua makanan yang sudah aku konsumsi pun sudah tak bisa tertahan untuk tidak dikeluarkan. Seketika itu pula aku muntah. Semula aku mengira bahwa penyakit amandelku kumat, tapi, aku tidak merasa minum es berlebihan. Akhirnya, ibuku membawaku ke dokter. Alhasil, dokter mengatakan bahwa aku terkena gejala tifus. Penyakit yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.

Gejala tifus itu bersarang di tubuhku, sampai suatu hari di tanggal 2 Agustus 2013, pengumuman kelulusan tahap pertama USM STAN diumumkan. Dengan kondisiku yang lemah, aku tidak bisa dengan cepat mengakses internet. Untuk sekadar menatap layar televisi pun aku tidak kuat, apalagi mengakses internet dalam waktu lama. Akhirnya, aku meminta tolong kakakku untuk membantuku mencari tahu kelulusanku secara online lewat website resmi STAN.

Dan untuk kesekian kalinya, duniaku hitam seketika. Sehitam langit di angkasa yang mendung memurungkan bumi. Siang hari terasa seperti seperti malam yang kelam. Tidak ada lagi lengkungan senyum laksana bulan sabit. Aku tidak lulus. Aku gagal. Gagal. Gagal.

Sudah tidak ada kata lagi yang bisa kuucapkan. Aku hilang arah. Hanya satu hal yang selalu tertancap dalam batinku, "Dunia ini tidak adil". Ingin sekali aku berteriak dengan keras, "Heh, dunia! Kenapa, sih, lo gak pernah adil sama gue? Hah?! Lo tau, gak? gue udah berkorban banyak hal?! gue udah belajar mati-mati-an, gue bimbel, gue beli banyak buku, gue bolak-balik dari satu tempat ke tempat lainnya, gue udah hampir didiskualifikasi karena nama gue di KTP beda dengan di ijazah, gue udah ngabisin bensin mobil bapak gue buat nganterin gue dan temen-temen gue tes di Jakarta, dan sekarang gue sakit gejala tifus, lo tau, gak?!"

Hari terus berjalan, tak terasa sudah memasuki Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H, Kamis, 8 Agustus 2013. Aku masih dalam keadaan lemah. Namun, sudah bisa berdiri walaupun hanya sebentar. Tapi aku tidak ikut sholat Ied di masjid, aku hanya menuggu di rumah. Idul Fitri kala itu adalah Idul Fitri yang paling menyedihkan dalam hidupku. Selama 29 hari puasa Ramadhan, aku hanya sempat berpuasa di 4 hari pertama Ramadhan. Di hari ke-5 sampai hari ke-11, aku menstruasi; dan setelah itu, gejala tifus itu datang dan bersarang di tubuhku selama 18 hari.

Seharusnya, setelah lebaran, aku ingin meminta tolong orang tuaku untuk mencari PTS, [FYI: STAN adalah satu-satunya Perguruan Tinggi (Kedinasan) yang pengumuman kelulusannya paling akhir (2 Agustus 2013) dibanding PTN dan PTK lainnya sehingga membuat kita tidak memiliki kesempatan lagi untuk mencari PTN maupun PTK yang masih membuka pendaftaran] namun apa daya, di hari kedua setelah lebaran, ibu dan kakak keduaku -yang notabene-nya akan menikah seminggu lagi- justru sakit. Kesabaranku kembali diuji. Alhasil, aku yang gantian merawat ibu dan kakakku yang sedang sakit.

Lima hari berlalu, sekitar tanggal 14 Agustus 2013, kami sekeluarga pergi ke Pemalang, Jawa Tengah, kampung halaman dari bapakku. Selain untuk halal bihalal dengan mbah kakung dan sanak saudara, tujuan kami ke sana adalah untuk menikahkan kakak keduaku dengan gadis -yang notabene-nya adalah tetangga kami- di Pemalang. Pernikahan mereka dihelat tanggal 16 Agustus 2013. Lagi-lagi, aku menyia-nyia-kan waktu yang seharusnya bisa aku gunakan untuk mencari PTS. Ketika sudah berada di rumah mbah, Pemalang, aku bertemu dengan sepupuku (sebut saja Mawar), seumuran, dan sesama penghuni Bekasi. Ibuku menceritakan padanya perihal ketidaklulusanku di PTN. Sontak, Mawar mengajakku untuk bergabung dengannya di Universitas X, kampus II, Bekasi. Awalnya aku ragu, karena di sana tidak ada prodi yang aku sukai. Hanya ada Hukum, Ekonomi, Teknik, Komunikasi, dan Informatika. Aku juga tidak pernah mendengar apa-apa tentang kampus tersebut, baik itu prestasi maupun hal lain yang dapat dibanggakan. Tapi Mawar tetap merayuku dengan iming-iming, "Murah, kok, Put, biayanya. Katanya juga kampusnya mau di-negeri-in."

Perlu digarisbawahi, aku tidak melihat kampusnya. Aku melihat prodinya. Dan di sana tidak ada prodi yang aku sukai.

Ketika aku sudah kembali ke Bekasi, kalau tidak salah, 18 Agustus 2013, aku masih berpikir bagaimana nasib hidupku selanjutnya. Teman-temanku yang lain sudah sibuk dengan ini-itu, sedangkan aku? mendaftar PTS pun belum. Aku iri dengan mereka.

Sebenarnya, aku ingin bergabung dengan satu teman sekelasku di SMA yang sudah mendaftar di salah satu PTS di Tasikmalaya dengan prodi kesehatan masyarakat. Tapi ibuku tidak memperbolehkan. Mungkin karena aku adalah anak bungsu dan perempuan satu-satunya dalam keluargaku. Ibuku hanya mau aku kuliah di sekitar Bekasi. Tapi di mana? Haruskah aku masuk di Universitas X itu?

Di sisi lain aku juga berpikir, apa aku menunda kuliah setahun saja? tapi aku mau berbuat apa? kerja? Hah! anak rumahan yang gak pernah bergaul dengan dunia luar ini bisa apa? Aku benar-benar hilang arah. Keesokan harinya, dengan berbekal berkas-berkas persyaratan pendaftaran, aku berjalan dengan ibuku untuk mencari PTS. Dan kampus yang didatangi adalah Universitas X yang pernah dibicarakan oleh sepupuku itu. Something like... I have no choice.

Sesampainya di Universitas X, pihak administrasi mengatakan bahwa pendaftaran resmi ditutup tanggal 19 Agustus 2013 ini. Karen tanggal 19 ini adalah tes masuknya. Tapi kalau aku mau menunggu, aku harus menunggu sampai tanggal 21 Agustus, karena di tanggal itulah akan diumumkan siapa saja yang tidak lulus tes, sehingga aku bisa mengisi kekosongan itu, walaupun harus dengan tes masuk juga.

Pagi hari, tanggal 21 Agustus 2013, aku kembali datang ke Universitas X tersebut untuk mencari tahu apakah benar ada yang tidak lulus tes masuk. Dan ternayata... benar! Alhasil, dengan rasa setengah sadar, setengah tidak, aku sah mendaftar sebagai calon mahasiswa di kampus tersebut dan langsung mengikuti tes masuk. And you know what? Aku memilih fakultas ekonomi dengan program studi akuntansi. Ya! Akuntansi.

Keterjatuhanku dalam jurang yang dalam pun dimulai.

Dasar utama aku mengambil jurusan tersebut adalah karena aku berpikir di jurusan terbut ada unsur matematika-nya. Aku suka dengan hitung-menghitung. Dan semesta bersambut. Aku lulus tes masuk. Lulus.

Entah mengapa, aku merasa biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Malahan, aku khawatir. Dan... aku berpikiran negatif.

Ketika dinyatakan lulus, ada bisikan-bisikan yang sampai di telingaku bahwa mahasiswa baru tahun ini di Universitas X adalah yang terbanyak sepanjang 13 tahun Universitas ini berdiri. Karena sebelumnya Universitas X ini cenderung seperti lembaga bimbel. Hanya ada beberapa mahasiswa. Sunyi. Sepi.

Okay, satu fakta telah terungkap!

Ketika aku menjalani ospek di kampus, ini yang membuat fakta lain terungkap. Ospek dilakukan selama 3 hari. Total biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi barang bawaan yang dibutuhkan adalah sekian juta. Sekian juta. Ternyata, ospek yang dilakukan adalah ospek yang tidak me-manusia-kan-manusia. Terlebih, di hari ketiga. Sangat tidak me-manusia-kan-manusia.

Ospek selesai, keesokan harinya aku mulai menjalani diri sebagai mahasiswi baru prodi akuntansi. Miris memang. Perjuanganku yang begitu melelahkan -fisik dan mental- hanya demi memantaskan diri sebagai mahasiswi PTN dengan prodi farmasi harus berakhir kelam seperti ini. Sebagai manusia biasa yang sering salah dan khilaf, aku tidak sedikitpun ragu untuk mengatakan bahwa dunia ini tidak pernah adil untukku. Banyak ucapan penyesalan -yang sebenarnya dilarang oleh agama untuk disesali- yang aku ucapkan. Such as, "Kalau aja dulu gue gak menghiraukan brosur PTS yang lebih berkualitas, kalau aja dulu gue gak sebegitu menggebu-gebu-nya untuk jadi mahasiswi PTN, kalau aja dulu gue ngeluangin waktu sedikit aja untuk cari PTS, kalau aja dulu gue gak sakit gejala tifus, kalau aja kakak dan ibu gue gak sakit pasca lebaran, kalau aja seminggu setelah lebaran kakak gue gak ikut ke Pemalang buat lihat nikah, dan kalau aja pendaftaran masuk PTS lain masih ada, pasti gue bisa dapat PTS dan duduk di kursi yang lebih layak."

Memasuki perkuliahan, aku tampak seperti anak SD yang sedang belajar menulis dan membaca. Bingung. Aku memulai semuanya dari awal. Yang biasanya aku temui adalah fisika, kimia, biologi, dan matematika IPA. Tapi sekarang? Nothing!

Aku bertemu dengan teman-teman perempuan bergaya swag -yang lebih layak disebut sebagai orang yang ingin shopping dibanding ingin kuliah- di kelasku. Sedangkan aku? Aku justru terlihat terlalu resmi dengan kemeja, celana bahan, sepatu pantopel, dan tas ransel yang aku kenakan. Sedangkan yang laki-laki, banyak yang merokok. Padahal terlihat jelas tulisan "NO SMOKING" yang terpampang di tembok depan kelas. Aku membatin, "Oh God! This is not my life".

Jujur, aku akui, aku hanya bisa survive di mata kuliah matematika ekonomi. Tapi tidak dengan mata kuliah lain yang notabene-nya harus dihapalkan, mengingat ekonomi itu berhubungan dengan teori-teori pasar yang mengikuti perkembangan zaman. Bisa saja hari ini teorinya seperti ini, tapi besok? Pasti akan ada teori baru. Alhasil, teori dihapalkan lagi. Beda jauh dengan ilmu eksakta yang hanya membutuhkan kemampuan kita untuk menghapal rumus. Satu rumus hapal dan mengerti, maka langkah selanjutnya pun akan bisa mengikuti.

Banyak teman sekelasku di kampus yang menganggap aku paham dalam matematika. Bahkan, ketika Dosen matematika memberikan tugas matematika, mereka melimpahkan semuanya kepadaku dan memintaku untuk mengajari mereka dari awal layaknya seorang Dosen. Pernah suatu ketika, saat itu ketika aku mengajari mereka matematika, aku iseng bertanya kepada mereka,

". . . 20 dikali 20 berapa?"

"40!" Jawab seorang temanku, laki-laki (sebut saja S), dengan lantangnya.

Sontak, teman-temanku yang lain pun menertawakan. You know what I feel? Sakit.

Tujuanku kuliah adalah aku ingin mencari ilmu baru, aku ingin mengembangkan diriku, aku ingin menjadi mahasiswi yang di-doseni, bukan mahasiswi yang men-doseni, dan aku tidak ingin berada di dalam tempat yang membuatku nyaman, tapi aku ingin berada di tempat yang mampu membuatku berkembang. Tapi apa? aku tidak berkembang di tempat ini. Aku justru terjatuh. Sakit. Perih. Berdarah.

Pernah suatu hari, ketika aku kuliah, tapi Dosenku belum datang, aku curhat dalam selembar kertas dengan menggunakan bahasa Inggris. Aku menuliskan semua yang aku rasakan selama beberapa minggu aku kuliah di Universitas X tersebut. Begini tulisannya:



"Sesungguhnya, hidup tak lagi hidup ketika kita tak lagi bersama."
(Putri Nur Indah Pratiwi)

I miss you biology. I miss you chemistry. I miss you math. I miss you physic. I wanna go home right now! Honestly, science lessons are more easy than anyone else. God, please, help me to go out from this uncomfortable zone! God, please, let me to creating what You would never design before!

God, this is not my life. I'm not me here. I don't know why I can't to understand what accounting is. I'm nothing here! Why do I still survive in this faculty? Because of Mathematical Economics! Ya, there's math lesson here. Although this math isn't science math, but I still can breathe until this moment. I love you math! You're my life. You're my soul. I don't know if there isn't you, maybe... maybe... I don't know what should I say.
The lecturer rarely comes and teaches us. Unit of student's skill here are also very quiet. There was no executive body of students, no college radio, no mosque, no seminars with speakers from any ageny. From each faculty was also rare to hold an events.
  
In 2014, I wanna try something new! I wanna be a naughty daughter, God. Can I do it once, God? Just once. I wanna join National College Entrance Selection State for the second time. I wanna comeback to my life! I wanna choose University of Indonesia for the Chemistry courses on the first choice. On the second choice, I wanna choose University of Jenderal Soedirman for the Nursing courses. And, on the third choice, I wanna choose State University of Semarang for the Public Health Sciences courses. But, before that, I also wanna try at Academy Chemical Analyst, God! Let me to do that, God! Please.


"Hadapi dengan senyuman. Semua yang terjadi, biar terjadi. Hadapi dengan tenang jiwa, semua kan baik-baik saja. Bila ketetapan Tuhan sudah ditetapkan, tetaplah sudah. Tak ada yang bisa merubah, dan takkan bisa berubah. Relakanlah saja ini, bahwa semua yang terbaik. Terbaik untuk kita semua, menyerahlah untuk menang."
(Dewa 19 - Hadapi dengan Senyuman)

Rasa ke-tidak-betah-an-ku ini semakin menjadi-jadi ketika aku memasuki UAS di bulan Januari 2014. Ketika UAS hari pertama, semuanya masih baik-baik saja, walaupun aku mengerjakan soal dengan asal-asal-an di mata kuliah Pengantar Akuntansi I. Maklum, sebagai mahasiswi (mantan anak IPA) yang mengulang semua materinya dari awal, aku tidak cukup mengerti dengan semuanya. Ditambah lagi, Dosen jarang hadir dan tidak mau tahu apakah semua mahasiswanya mengerti materi atau tidak. So, jangan salahkan aku kalau aku menjawab soal dengan mengarang bebas. Sakarep-ku.

UAS hari kedua, inilah keterjatuhanku selanjutnya. Aku sakit. Tidak ada yang bisa memprediksi sebelumnya kalau hari Selasa aku sakit. Untung saja kala itu aku masuk siang. Jadi aku bisa berobat di pagi harinya dan berharap bisa sembuh di siang harinya. Tapi ternyata... nasib berkata lain. Aku tidak bisa datang ujian. Orang tuaku menelpon pihak kampus untuk mengatakan bahwa aku tidak bisa hadir karena sakit. Dan pihak kampus mengizinkan, tapi dengan syarat harus ada surat dokter.
Saat itu juga kakak pertamaku bergerak cepat menuju kampus dan menyerahkan surat tersebut kepada Kepala Prodi Akuntansi.

Keesokan harinya sampai hari terakhir ujian, aku masuk seperti biasa ke kampus dan mengikuti ujian semampuku. Setelah hari terakhir ujian selesai, aku merasa punya kewajiban untuk ujian susulan pengganti hari Selasa saat aku sakit. Aku memberanikan diri menemui Kepala Prodi Akuntansi untuk menanyakan kapan aku bisa ujian susulan.

Sesampainya di ruangan Beliau, you know what? Ternyata suratnya masih tersimpan rapi di mejanya. Tidak terlihat adanya bekas sobekan pada amplop tersebut. Kesimpulanku: Beliau memang sengaja menungguku untuk menemuinya. Lalu, dengan nada tinggi Beliau membentakku dan membuat seluruh seluruh mata di ruang dosen tertuju padaku.

"Kamu tahu, gak, kalau peraturan di sini gak boleh gak masuk saat sakit?!"

"Gak tahu, Pak." Jawabku sambil menunduk.

"Siapa yang nyuruh kamu sakit? Hah?!"

"Lho, Pak. Sakit itu kan gak ada yang bisa memprediksi. Buktinya hari Senin kemarin saya masih sehat dan bisa masuk." Aku membela diri.

"Makanya jangan berbuat sesuatu yang membuat kamu sakit!"

Aku hanya menunduk diam. Menahan semua emosi.

Sesampainya di rumah, aku menceritakan semuanya pada ibuku. Dengan cucuran air mata, nafas yang sesak, dan nada bicara yang terisak-isak, aku juga mengatakan keinginanku untuk secepatnya keluar dari tempat itu dan pindah kuliah ke tempat lain. Tanpa berbasa-basi, ibuku segera menelepon kakak pertamaku dan menceritakan hal ini. Kakakku pun segera meninggalkan kantornya untuk pergi menemui Dosen yang bersangkutan dan mengajukan pembelaan atas diriku. Setelah selesai menemui Dosen tersebut, kakakku segera menelepon ibuku.

"Dosennya bilang kalau si Putri jangan sampai berhenti dan keluar dari kampus. Terus si Putri disuruh menghadap lagi sendirian ke ruangannya hari Kamis." Ucap kakakku.

"Gak akan mau si Putri datang lagi ke sana. Apalagi sendirian." Jawab ibuku.

Semenjak kejadian itu, terhitung tanggal 21 Januari 2014, aku sudah memutuskan hubungan perkuliahan dengan Universitas X dan tidak akan pernah mau untuk menginjakkan kaki lagi di Universitas X tersebut.

Aku memulai hidup dari awal. Aku bertekad bahwa tahun 2014 adalah tahun yang indah dan penuh rezeki untukku. Berhubung tidak ada kampus yang membuka pendaftaran di semester genap, maka aku putuskan untuk berdiam diri di rumah dan membantu pekerjaan rumah.

Aku berharap, tidak ada teman SMA-ku yang tahu tentang hidupku yang kelam ini. Aku terlalu malu untuk bisa menceritakan semuanya.

Seperti ceritaku di 2014 : Be Creative, Be Wild, Be Out of the Box, Be Announcer!
aku ingin mewujudkan cita-cita masa kecilku menjadi seorang penyiar radio. Dengan berbekal pengetahuan cara membuat surat lamaran pekerjaan di masa SMA, aku memberanikan diri untuk melamar menjadi penyiar radio di dua radio berbeda yang berlokasi di Bekasi.

Setelah dua kantor radio aku sambangi, sampai detik ini, tidak ada sama sekali pemberitahuan kalau lamaranku diterima. Kenyataan memang tidak akan semudah impian. Begitulah nasib.

Beberapa bulan telah berlalu. Tanpa terasa sudah dekat dengan masa SBMPTN 2014. Entah mengapa, kembali terbesit dalam diri ini untuk ikut berpartisipasi dalam seleksi Nasional tersebut.

"Yakin, nih, gue bisa lulus? Bekas luka kemarin aja masih belum hilang. Yakin mau bikin luka baru?" Aku membatin.

Kebanyakan orang (termasuk aku) berpikir bahwa jika ingin lulus SBMPTN dengan jurusan yang diinginkan, maka carilah PTN yang terpelosok. Toh, semua PTN itu baik dan bagus. Why not?

Mulailah aku berpikir untuk mencari informasi tentang SBMPTN 2014, prodi di tiap PTN, dan kuota yang disediakan. Berdasarkan hasil pencarianku, aku mulai tertarik untuk menjadi peserta SBMPTN lagi. Jika tahun lalu ujian diselenggarakan selama dua hari, maka tahun ini, ujiannya dipersingkat menjadi satu hari saja. Biaya pendaftaran SBMPTN tahun ini pun lebih murah ketimbang tahun lalu. Mulailah aku mengumpulkan uang [FYI: Aku ingin membiayai pendaftaran SBMPTN tahun ini dengan uangku sendiri. Toh, kalaupun nantinya aku tidak lulus, tidak akan sebegitu menyesakkan dada lagi] sedikit demi sedikit.

Di SBMPTN tahun ini, aku bertindak sedikit nakal terhadap orang tuaku. Aku tidak mengatakan kepada mereka PTN mana saja yang aku pilih. Karena, kalaupun aku mengatakannya, mereka pasti tidak akan mengizinkan. Anyway, PTN yang aku pilih untuk SBMPTN 2014 ini terdiri dari tiga PTN dengan tiga prodi berbeda. Tidak sama dengan PTN dan prodi impian yang aku tulis di curhat bahasa Inggris-ku di atas. Pilihan pertamaku adalah Universitas Syiah Kuala dengan prodi farmasi, pilihan keduaku adalah Universitas Airlangga dengan prodi teknobiomedik, dan pilihan ketigaku adalah Universitas Bengkulu dengan prodi matematika. Dan aku pun mendaftarakan diri secara online.

Yang menjadi persamaan dengan tahun lalu adalah prodi prioritasku tetap farmasi. Sedangkan yang menjadi lembaran baru tahun ini adalah lokasi tiap PTN yang sangat jauh dari tempat tinggalku.

Entah mengapa, untuk SBMPTN tahun ini aku merasa sangat santai dalam menjalaninya. Aku ikhlas apapun hasilnya. Aku sudah pernah mengalami kepahitan di masa lalu dan aku harus bisa belajar dari pengalaman kelam itu. Aku baru mulai membedah soal -yang masih aku simpan rapi- seminggu sebelum SBMPTN. Santai sekali.

Pada saat ujian dilaksanakan, dengan santai, teliti, dan memperhatikan waktu, aku mengerjakannya dengan ikhlas. Aku merasa, ujian ini lebih mudah ketimbang ujianku setahun yang lalu. Aku berpikiran positif kali ini. Tapi tetap, semuanya aku serahkan kepada Tuhan. Karena hanya Tuhan yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu.

Tidak ingin lagi bersikap sombong dengan menghiraukan PTS, beberapa hari setelah SBMPTN pun aku mengajak ibuku untuk mencari kampus swasta yang ada prodi farmasi-nya. Tentunya di sekitar Bekasi, seperti keinginan ibuku. Dan ternyata... ada! Tapi bukan Universitas, melainkan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes). Setelah bertanya-tanya, brosurnya pun aku bawa pulang agar bisa dibicarakan dengan bapakku.

Setelah dikonsultasikan dengan bapakku, ternyata Beliau kurang menyetujuinya. Menurutnya, selain karena biaya kuliah yang terlalu mahal, track record dari kampusnya pun belum begitu baik. Alhasil, aku tidak jadi memilih kampus ini.

Pencarian PTS kedua pun berlanjut. Kali ini adalah universitas swasta -yang sudah cukup senior- di Jakarta. Aku ke sana atas rekomendasi tetanggaku yang juga kuliah farmasi di universitas tersebut. Entah mengapa, kali ini aku yang merasa kurang cocok. Daripada nantinya berakhir seperti yang sudah-sudah, lebih baik aku hiraukan universitas tersebut.

Sebelum pencarian PTS ketiga berlanjut, tibalah saatnya pengumuman SBMPTN 2014 secara online. Kala itu sedang dalam bulan Ramadhan dan hasil akan diumumkan pada pukul 17.00 WIB. Butuh mental yang kuat untuk bisa mengakses laman SBMPTN itu. Dan aku tidak cukup kuat untuk melakukannya. Aku masih dibayang-bayangi oleh keterjatuhan di masa lalu yang sangat sulit untuk dilupakan.

Akhirnya, aku sengaja mengundur-undur waktu dan melupakannya sejenak. Aku fokus dengan waktu berbuka puasa, ibadah wajib, dan ibadah sunnah lainnya yang dilakukan setelah berbuka puasa. Setelah pukul 20.30, aku masih belum memiliki mental kuat untuk bisa mengkses lama tersebut. Alhasil, aku mengirim pesan kepada kakak keduaku agar ia saja yang mengakses lamanku. Aku memberitahunya kode SBMPTN-ku dan tanggal lahirku agar laman dapat diakses. Setelah tahu hasilnya, Beliau segera memberitahuku lewat pesang singkat:


https://pengumuman.sbmptn.or.id/umum.php

Aku terdiam dan mendapati diriku dengan wajah se-bengong-bengong-nya setelah membaca pesan singkat tersebut. Speechless. Bukan hanya shock dengan kenyataan yang baru saja aku lihat, tapi juga bingung dengan caraku memberitahu orang tuaku. Apa yang harus aku katakan tentang hasil ini? Sementara berunding saja tidak aku lakukan.

Akhirnya, dengan berat hati, aku memberitahu hasil ini dan penjelasannya kepada orang tuaku. Shockingly entertaining!

Seperti yang sudah aku bayangkan, orang tuaku pasti tidak akan menyetujuinya. Orang tuaku marah. Ya, aku memakluminya. Memang ini semua adalah salahku. Tapi, cara apa lagi yang harus aku tempuh selain memilih PTN yang terpelosok kalau aku ingin bisa lulus tes?

And you know what? Orang tuaku menyarankan aku untuk tidak menerima hasil SBMPTN tersebut dan tetap kuliah di PTS. Ini lucu, bukan? Setahun yang lalu aku begitu mengemis -sampai sebegitu sakit, perih, dan berdarahnya- untuk bisa mendapatkan PTN lewat jalur yang telah ditentukan. Tapi kali ini? dengan mudahnya aku melepas, menghiraukan, dan tidak menerima hasil itu? Dunia kini sudah berputar.

Berhubung aku tidak menerima hasil SBMPTN itu, mulailah aku mencari kampus PTS lain di Bekasi dengan prodi farmasi. Ternyata tidak ada. But... wait! Ada satu kampus (STIKes) yang berdiri satu group dengan rumah sakit dan menjamin mahasiswanya untuk disalurkan bekerja di rumah sakit tersebut setelah lulus. Memang, sih, tidak ada prodi farmasi di kampus ini, tapi ada D3 analis kesehatan. Dan aku tergiur untuk mencobanya.

Perjalanan pun dimulai. Aku -bersama ibu dan kakakku- mendaftarkan diri langsung ke STIKes tersebut dan dengan mantap memilih prodi D3 analis kesehatan. Beberapa hari setelah mendaftar, aku langsung ikut ujian masuk yang terdiri dari tiga tahap: tes tulis (lewat komputer), tes kesehatan, dan tes wawancara. Semua dilakukan dalam satu hari. Aku merasa nyaman dengan lingkungan kampus ini. Tidak ada yang berpakaian ala cewek swag -yang bahkan lebih layak disebut sebagai cewek yang mau shopping- di kampus. Semuanya berseragam. Pun tidak ada yang merokok, mengingat ini adalah kampus kesehatan.

Beberapa hari setelah ujian masuk, aku mendapat pesan singkat dari kampus tersebut yang mengatakan bahwa aku lulus diterima sebagai mahasiswi di STIKes yang bersangkutan dan berdasarkan hasil nilaiku yang di atas rata-rata, aku direkomendasikan sebagai penerima beasiswa di STIKes tersebut. What a nice info!

Setelah itu, aku kembali dikirimi pesan singkat yang berisi tentang waktu dan tempat untuk mengikuti tes beasiswa. Rona bahagia dengan senyum mengembang terpancar dari wajahku. Melupakan semua kepahitan di masa lalu. Aku hidup kembali!

Hari di mana tes beasiswa pun tiba. Aku datang dengan penuh semangat untuk masa depan yang cerah. Setelah tes beasiswa ini selesai, aku diberitahu bahwa pengumuman kelulusan akan diinfokan lewat pesan singkat atau telepon.

Tanpa menunggu lama, setelah aku sudah resmi menjadi mahasiswi D3 analis kesehatan dan mengikuti perkuliahan, aku diberitahu secara langsung bahwa aku mendapatkan beasiswa itu! Aku dibebaskan dari segala biaya pendidikan selama tiga tahun dan bahkan aku sudah dikontrak ikatan dinas oleh rumah sakit selama tujuh tahun pengabdian. Biaya semester 1 yang sudah dibayar lunas pun akan diganti bulan Januari 2015. Aaaaahhhh! God! This is my life!

Saat ini aku sudah kembali pada hidupku yang dulu. Langit yang semula menghitam, kini sudah kembali membiru. Bumi pun tersenyum manis. Sudah tidak ada lagi awan mendung, karena kini warna-warni pelangi disertai suara kicauan burung di pagi hari menghiasi setiap harinya.

Aku sudah bertemu kembali dengan kimia, biologi, dan fisika. Aku kembali menghitung. Tidak ada kata tidak mengerti dengan pelajaran yang diajarkan selama proses perkuliahan berlangsung. Jika perkuliahanku dulu Dosen jarang masuk dan tugas jarang diberikan, kali ini Dosen selalu masuk on time dan setiap harinya selalu disibukkan dengan tugas. Nilai yang aku peroleh pun selalu di atas 80. Aku juga didaulat sebagai salah satu penanggung jawab laboratorium praktik. Such a great honor!

Aku senang karena aku sudah bisa mengganti belasan juta uang orang tuaku -yang kubuang dengan sia-sia setahun yang lalu- dengan beasiswaku ini. Yang harus aku lakukan saat ini adalah buang jauh-jauh kepahitan masa lalu dan belajar dengan giat agar nilaiku tidak turun dan beasiswaku tidak dicabut.

Well, semua kejadian ini membuatku berpikir bahwa terlalu berlebihan dan menggebu-gebu dalam mengejar sesuatu juga tidak baik. Karena saking menggebunya, aku menghiraukan hal lain yang sebenarnya bisa aku manfaatkan untuk melakukan hal lain yang lebih berarti.  Time is money. Sikap yang berlebihan juga membuat aku menjadi sombong, terjatuh, sakit, perih, dan berdarah.

Saat ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa, "Dunia, aku hidup kembali!"

No comments: