"Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi."
(Ilana Tan, Autumn in Paris)
Ada yang tahu bagaimana rasanya jatuh ke dalam
kesalahan terburuk -layaknya jatuh ke dalam jurang terdalam- dalam hidup?
Aku tahu rasanya.
Sakit. Perih. Berdarah.
Setahun yang lalu, sakit itu menderaku. Sebagai
seorang siswi kelas XII SMA, hari-hari-ku disibukan dengan belajar, belajar,
dan belajar. Baik belajar untuk Ujian Nasional maupun Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Kala itu, aku termasuk salah satu siswi yang
sangat mengidam-idamkan menjadi mahasiswi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Tiap
kali ada brosur dari Perguruan Tinggi Swasta, selalu aku hiraukan. Karena
tujuanku satu: Aku adalah calon mahasiswi Perguruan Tinggi Negeri 2013.
Perjalanan pertamaku dimulai. Aku mendaftarkan diri
sebagai salah satu peserta "Undangan" [baca: sistem penerimaan
mahasiswa baru PTN lewat seleksi nilai rapor dan tanpa tes] masuk Perguruan
Tinggi Negeri 2013. Dengan percaya dirinya, aku mendaftarkan diri secara online
dan mengikuti tahap demi tahap pengisian form yang disediakan.
"Undangan ini sifatnya keberuntungan, lho, ya.
Jangan pernah menganggap teman yang sehari-harinya menurut kamu kurang layak,
lalu gak lulus undangan. Bisa saja dia yang beruntung sedangkan kamu tidak.
Pilihlah jurusan yang kamu sukai. Jangan melihat PTN-nya. Semua PTN itu baik
dan bagus." Tegas Pak Nasahi, guru Bimbingan Konseling di SMA-ku dulu.
Masih segar dalam ingatanku, kala itu, aku memilih dua
PTN dengan dua program studi (prodi) di masing-masing PTN. Pilihan pertamaku
adalah Universitas Padjadjaran dengan prodi farmasi dan teknologi pangan.
Sedangkan pilihan keduaku adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan prodi
farmasi dan kesehatan masyarakat. Dilihat dari prodi yang dipilih, aku
cenderung memilih farmasi sebagai prodi prioritas. Mengapa? Karena farmasi itu
berhubungan dengan kimia. Dan segala yang berbau kimia itu menyenangkan,
menurutku.
Ke-harap-harap-cemas-an itu selalu mendera, sampai
suatu hari di bulan Mei, pengumuman itu tiba. Senyum kepercayaan diri yang
semula mengembang, perlahan seolah layu. Aku tidak lulus sebagai mahasiswi di
kedua PTN tersebut. Satu harapanku telah hilang. Aku tahu alasannya.
Kala itu, Universitas Padjadjaran menempati peringkat pertama sebagai PTN yang
paling diincar oleh calon mahasiswa baru. Sedangkan farmasi adalah jurusan yang
bisa dibilang peminatnya bisa mencapai ribuan peminat di PTN seluruh Indonesia.
Dengan sekali hembusan nafas, aku membatin, "Ya,
aku mengerti."
Perjalanan kedua pun aku arungi. Pada pertengahan Juni
2013, aku mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Dengan berbekal bimbingan belajar intensif di salah satu lembaga bimbel selama
kurang-lebih dua bulan, aku mantap meminta tolong Pak Nasahi untuk mendaftariku
menjadi salah satu peserta SBMPTN 2013. Kali ini, aku mantap memilih
tiga prodi dari dua PTN. Pilihan pertama dan keduaku adalah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan prodi masing-masing farmasi dan kimia, dan pilihan
ketigaku adalah Universitas Negeri Semarang dengan prodi Kesehatan Masyarakat.
Pada saat pelaksanaan ujian SBMPTN tiba, tak ada
seorangpun yang mampu mengalahkan kuasa Tuhan. Sungguh tiada daya dan upaya
selain memohon dan meminta pertolongan-Nya. Sekeras dan segiat apapun kita
belajar, kalau memang Tuhan belum mengizinkan, tak ada yang bisa mengelak. Dan
itu terjadi padaku. Soal ujian yang aku terima justru di luar dugaanku. Aku
sudah mempelajari soal ujian SBMPTN 7 angkatan di atasku, tapi ini yang
tersulit. Rasa pesimis pun menghampiriku. I think negatively.
Dan itu terbukti. Semua memang berasal dari pikiran
kita. If we think we can do it, yes, we can do it! Namun sayangnya, aku
sudah berpikiran negatif terlebih dahulu. Aku kembali kehilangan harapanku yang
lain. Aku membatin, "Gue bodoh! bodoh! bodoh!".
Aku sudah membuang-buang uang kedua orang tuaku yang sudah membiayaiku untuk
ikut bimbingan tersebut. Tapi aku gagal. Gagal.
Perjalanan masih berlanjut. Kala itu, ada Ujian Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (UMBPTN) -yang hanya diselenggarakan oleh 13 PTN saja-
dan Ujian Saringan Masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (USM STAN). Keduanya
mengadakan ujian masuk di tanggal yang sama. Dan aku harus memilih. Sebagai
seorang IPA, sebenarnya aku merasa canggung kalau harus ikut USM STAN. Mungkin
memang materi yang diujikan adalah materi umum (Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Matematika), tapi kalau kenyataanya aku lulus? Aku akan
menyakiti perasaan ratusan ribu peserta lainnya -yang belum beruntung dan
sangat mengidam-idamkan menjadi mahasiswa STAN- jika tidak menerimanya.
Sedangkan UMBPTN sendiri hanya diselenggarakan oleh 13
PTN saja. Prodi yang disediakan juga hanya untuk kursi yang masih tersisa.
Dengan kata lain, kuota yang disediakan hanya sedikit. Sungguh suatu hal yang impossible
kalau masih ada kursi sisa di prodi farmasi. Belum lagi, biaya
pendaftarannya cukup tinggi. Bahkan melebihi biaya pendaftaran USM STAN.
Berangkat dari situlah, kedua orang tuaku menyarankan
aku untuk ikut USM STAN. Menurut mereka, jadi orang perpajakan itu gajinya
gede, lho. Apalagi, setelah lulus bakal langsung diangkat jadi PNS di instansi
pemerintahan. Sebagai seorang yang sudah hopeless, aku meng-iya-kan
saran mereka dan sesegera mungkin mempersiapkan semua persyaratan dan
mendaftarkan diri secara online. Tidak semudah saat mengikuti Undangan
dan SBMPTN, USM STAN ini terdiri dari 4 tahap tes masuk, dimulai dari ujian
tertulis, tes fisik, tes kesehatan, dan tes wawancara. Namun, sebelum mengarah
ke ujian tertulis, peserta wajib terlebih dahulu masuk dalam tahap seleksi
berkas. Jika seseorang tidak lulus seleksi berkas, maka ia tidak bisa mengikuti
ujian tertulis.
Kala itu, aku hampir saja termasuk dalam salah satu
peserta yang tidak lulus seleksi berkas. Kejadian bermula saat namaku di KTP
tidak sama dengan yang ada di ijazah. Namaku di KTP adalah Putri Nurindah
Pratiwi. Sedangkan namaku di ijazah, sama dengan di akte kelahiranku, Putri Nur
Indah Pratiwi. Nama benarku -yang sesuai dengan ijazah- ada di E-KTP. Kala
itu, E-KTP-ku sedang dalam proses pembuatan sehingga mengharuskan aku
menggunakan KTP yang lama. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya,
keringat bercucuran, dan tanganku pun terasa dingin. Aku panik. Untung saja,
alasanku bisa diterima oleh pihak penyeleksi, walaupun dengan syarat harus
membuat surat keterangan dari RT/RW -kalau namaku adalah Putri Nur Indah
Pratiwi- dan wajib dibawa pada saat ujian tertulis.
Pagi hari, Minggu, 21 Juli 2013. Hari ke-11 di bulan
Ramadhan. Aku bersama ketiga temanku pergi bersama menuju USM STAN tahap
pertama, yaitu ujian tertulis yang bertempat di salah dua sekolah di Jakarta.
Aku di SMP, sedangkan ketiga temanku di SMA yang memang berdampingan dengan SMP
tempatku ujian. Semula aku mengira bahwa inilah awal dari kebangkitanku, namun
ternyata... inilah awal aku terjatuh.
Di malam hari sepulangnya aku USM STAN, aku merasa
sekujur tubuhku panas, tapi aku kedinginan. Aku menggigil. Ketika pagi
menjelang, aku meminta tolong ibuku untuk membuatkan teh panas dan mengatakan
kepadanya bahwa aku tidak enak badan. Teh yang seharusnya terasa manis di
lidah, nyatanya tak bisa kurasakan. Pahit. Semua makanan yang sudah aku
konsumsi pun sudah tak bisa tertahan untuk tidak dikeluarkan. Seketika itu pula
aku muntah. Semula aku mengira bahwa penyakit amandelku kumat, tapi, aku tidak
merasa minum es berlebihan. Akhirnya, ibuku membawaku ke dokter. Alhasil,
dokter mengatakan bahwa aku terkena gejala tifus. Penyakit yang tidak pernah
aku rasakan sebelumnya.
Gejala tifus itu bersarang di tubuhku, sampai suatu
hari di tanggal 2 Agustus 2013, pengumuman kelulusan tahap pertama USM STAN
diumumkan. Dengan kondisiku yang lemah, aku tidak bisa dengan cepat mengakses internet.
Untuk sekadar menatap layar televisi pun aku tidak kuat, apalagi mengakses internet
dalam waktu lama. Akhirnya, aku meminta tolong kakakku untuk membantuku
mencari tahu kelulusanku secara online lewat website resmi STAN.
Dan untuk kesekian kalinya, duniaku hitam seketika.
Sehitam langit di angkasa yang mendung memurungkan bumi. Siang hari terasa
seperti seperti malam yang kelam. Tidak ada lagi lengkungan senyum laksana
bulan sabit. Aku tidak lulus. Aku gagal. Gagal. Gagal.
Sudah tidak ada kata lagi yang bisa kuucapkan. Aku
hilang arah. Hanya satu hal yang selalu tertancap dalam batinku, "Dunia
ini tidak adil". Ingin sekali aku berteriak dengan keras, "Heh,
dunia! Kenapa, sih, lo gak pernah adil sama gue? Hah?! Lo tau,
gak? gue udah berkorban banyak hal?! gue udah belajar
mati-mati-an, gue bimbel, gue beli banyak buku, gue
bolak-balik dari satu tempat ke tempat lainnya, gue udah hampir
didiskualifikasi karena nama gue di KTP beda dengan di ijazah, gue
udah ngabisin bensin mobil bapak gue buat nganterin gue dan
temen-temen gue tes di Jakarta, dan sekarang gue sakit gejala tifus,
lo tau, gak?!"
Hari terus berjalan, tak terasa sudah memasuki Hari
Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H, Kamis, 8 Agustus 2013. Aku masih dalam keadaan
lemah. Namun, sudah bisa berdiri walaupun hanya sebentar. Tapi aku tidak ikut
sholat Ied di masjid, aku hanya menuggu di rumah. Idul Fitri kala itu adalah
Idul Fitri yang paling menyedihkan dalam hidupku. Selama 29 hari puasa
Ramadhan, aku hanya sempat berpuasa di 4 hari pertama Ramadhan. Di hari ke-5
sampai hari ke-11, aku menstruasi; dan setelah itu, gejala tifus itu datang dan
bersarang di tubuhku selama 18 hari.
Seharusnya, setelah lebaran, aku ingin meminta tolong
orang tuaku untuk mencari PTS, [FYI: STAN adalah satu-satunya Perguruan
Tinggi (Kedinasan) yang pengumuman kelulusannya paling akhir (2 Agustus 2013)
dibanding PTN dan PTK lainnya sehingga membuat kita tidak memiliki kesempatan
lagi untuk mencari PTN maupun PTK yang masih membuka pendaftaran] namun apa
daya, di hari kedua setelah lebaran, ibu dan kakak keduaku -yang notabene-nya
akan menikah seminggu lagi- justru sakit. Kesabaranku kembali diuji. Alhasil,
aku yang gantian merawat ibu dan kakakku yang sedang sakit.
Lima hari berlalu, sekitar tanggal 14 Agustus 2013,
kami sekeluarga pergi ke Pemalang, Jawa Tengah, kampung halaman dari bapakku.
Selain untuk halal bihalal dengan mbah kakung dan sanak saudara, tujuan kami ke
sana adalah untuk menikahkan kakak keduaku dengan gadis -yang notabene-nya
adalah tetangga kami- di Pemalang. Pernikahan mereka dihelat tanggal 16 Agustus
2013. Lagi-lagi, aku menyia-nyia-kan waktu yang seharusnya bisa aku gunakan
untuk mencari PTS. Ketika sudah berada di rumah mbah, Pemalang, aku bertemu
dengan sepupuku (sebut saja Mawar), seumuran, dan sesama penghuni Bekasi. Ibuku
menceritakan padanya perihal ketidaklulusanku di PTN. Sontak, Mawar mengajakku
untuk bergabung dengannya di Universitas X, kampus II, Bekasi. Awalnya aku
ragu, karena di sana tidak ada prodi yang aku sukai. Hanya ada Hukum, Ekonomi,
Teknik, Komunikasi, dan Informatika. Aku juga tidak pernah mendengar apa-apa
tentang kampus tersebut, baik itu prestasi maupun hal lain yang dapat
dibanggakan. Tapi Mawar tetap merayuku dengan iming-iming, "Murah, kok,
Put, biayanya. Katanya juga kampusnya mau di-negeri-in."
Perlu digarisbawahi, aku tidak melihat kampusnya. Aku
melihat prodinya. Dan di sana tidak ada prodi yang aku sukai.
Ketika aku sudah kembali ke Bekasi, kalau tidak salah,
18 Agustus 2013, aku masih berpikir bagaimana nasib hidupku selanjutnya.
Teman-temanku yang lain sudah sibuk dengan ini-itu, sedangkan aku? mendaftar
PTS pun belum. Aku iri dengan mereka.
Sebenarnya, aku ingin bergabung dengan satu teman
sekelasku di SMA yang sudah mendaftar di salah satu PTS di Tasikmalaya dengan
prodi kesehatan masyarakat. Tapi ibuku tidak memperbolehkan. Mungkin karena aku
adalah anak bungsu dan perempuan satu-satunya dalam keluargaku. Ibuku hanya mau
aku kuliah di sekitar Bekasi. Tapi di mana? Haruskah aku masuk di Universitas X
itu?
Di sisi lain aku juga berpikir, apa aku menunda kuliah
setahun saja? tapi aku mau berbuat apa? kerja? Hah! anak rumahan yang gak
pernah bergaul dengan dunia luar ini bisa apa? Aku benar-benar hilang arah.
Keesokan harinya, dengan berbekal berkas-berkas persyaratan pendaftaran, aku
berjalan dengan ibuku untuk mencari PTS. Dan kampus yang didatangi adalah
Universitas X yang pernah dibicarakan oleh sepupuku itu. Something like... I
have no choice.
Sesampainya di Universitas X, pihak administrasi
mengatakan bahwa pendaftaran resmi ditutup tanggal 19 Agustus 2013 ini. Karen
tanggal 19 ini adalah tes masuknya. Tapi kalau aku mau menunggu, aku harus
menunggu sampai tanggal 21 Agustus, karena di tanggal itulah akan diumumkan
siapa saja yang tidak lulus tes, sehingga aku bisa mengisi kekosongan itu,
walaupun harus dengan tes masuk juga.
Pagi hari, tanggal 21 Agustus 2013, aku kembali datang
ke Universitas X tersebut untuk mencari tahu apakah benar ada yang tidak lulus
tes masuk. Dan ternayata... benar! Alhasil, dengan rasa setengah sadar,
setengah tidak, aku sah mendaftar sebagai calon mahasiswa di kampus tersebut
dan langsung mengikuti tes masuk. And you know what? Aku memilih
fakultas ekonomi dengan program studi akuntansi. Ya! Akuntansi.
Keterjatuhanku dalam jurang yang dalam pun dimulai.
Dasar utama aku mengambil jurusan tersebut adalah
karena aku berpikir di jurusan terbut ada unsur matematika-nya. Aku suka dengan
hitung-menghitung. Dan semesta bersambut. Aku lulus tes masuk. Lulus.
Entah mengapa, aku merasa biasa saja. Tidak ada yang
istimewa. Malahan, aku khawatir. Dan... aku berpikiran negatif.
Ketika dinyatakan lulus, ada bisikan-bisikan yang
sampai di telingaku bahwa mahasiswa baru tahun ini di Universitas X adalah yang
terbanyak sepanjang 13 tahun Universitas ini berdiri. Karena sebelumnya
Universitas X ini cenderung seperti lembaga bimbel. Hanya ada beberapa
mahasiswa. Sunyi. Sepi.
Okay, satu fakta telah terungkap!
Ketika aku menjalani ospek di kampus, ini yang membuat
fakta lain terungkap. Ospek dilakukan selama 3 hari. Total biaya yang
dikeluarkan untuk memenuhi barang bawaan yang dibutuhkan adalah sekian juta.
Sekian juta. Ternyata, ospek yang dilakukan adalah ospek yang tidak
me-manusia-kan-manusia. Terlebih, di hari ketiga. Sangat tidak
me-manusia-kan-manusia.
Ospek selesai, keesokan harinya aku mulai menjalani
diri sebagai mahasiswi baru prodi akuntansi. Miris memang. Perjuanganku yang
begitu melelahkan -fisik dan mental- hanya demi memantaskan diri sebagai
mahasiswi PTN dengan prodi farmasi harus berakhir kelam seperti ini. Sebagai
manusia biasa yang sering salah dan khilaf, aku tidak sedikitpun ragu untuk
mengatakan bahwa dunia ini tidak pernah adil untukku. Banyak ucapan penyesalan
-yang sebenarnya dilarang oleh agama untuk disesali- yang aku ucapkan. Such
as, "Kalau aja dulu gue gak menghiraukan brosur PTS yang lebih
berkualitas, kalau aja dulu gue gak sebegitu menggebu-gebu-nya untuk
jadi mahasiswi PTN, kalau aja dulu gue ngeluangin waktu sedikit
aja untuk cari PTS, kalau aja dulu gue gak sakit gejala tifus, kalau aja
kakak dan ibu gue gak sakit pasca lebaran, kalau aja seminggu setelah
lebaran kakak gue gak ikut ke Pemalang buat lihat nikah, dan kalau aja
pendaftaran masuk PTS lain masih ada, pasti gue bisa dapat PTS dan duduk di
kursi yang lebih layak."
Memasuki perkuliahan, aku tampak seperti anak SD yang
sedang belajar menulis dan membaca. Bingung. Aku memulai semuanya dari awal.
Yang biasanya aku temui adalah fisika, kimia, biologi, dan matematika IPA. Tapi
sekarang? Nothing!
Aku bertemu dengan teman-teman perempuan bergaya swag
-yang lebih layak disebut sebagai orang yang ingin shopping dibanding
ingin kuliah- di kelasku. Sedangkan aku? Aku justru terlihat terlalu resmi
dengan kemeja, celana bahan, sepatu pantopel, dan tas ransel yang aku kenakan.
Sedangkan yang laki-laki, banyak yang merokok. Padahal terlihat jelas tulisan
"NO SMOKING" yang terpampang di tembok depan kelas. Aku
membatin, "Oh God! This is not my life".
Jujur, aku akui, aku hanya bisa survive di mata
kuliah matematika ekonomi. Tapi tidak dengan mata kuliah lain yang notabene-nya
harus dihapalkan, mengingat ekonomi itu berhubungan dengan teori-teori pasar
yang mengikuti perkembangan zaman. Bisa saja hari ini teorinya seperti ini,
tapi besok? Pasti akan ada teori baru. Alhasil, teori dihapalkan lagi. Beda
jauh dengan ilmu eksakta yang hanya membutuhkan kemampuan kita untuk menghapal
rumus. Satu rumus hapal dan mengerti, maka langkah selanjutnya pun akan bisa
mengikuti.
Banyak teman sekelasku di kampus yang menganggap aku
paham dalam matematika. Bahkan, ketika Dosen matematika memberikan tugas
matematika, mereka melimpahkan semuanya kepadaku dan memintaku untuk mengajari
mereka dari awal layaknya seorang Dosen. Pernah suatu ketika, saat itu ketika
aku mengajari mereka matematika, aku iseng bertanya kepada mereka,
". . . 20 dikali 20 berapa?"
"40!" Jawab seorang temanku, laki-laki
(sebut saja S), dengan lantangnya.
Sontak, teman-temanku yang lain pun menertawakan.
You know what I feel? Sakit.
Tujuanku kuliah adalah aku ingin mencari ilmu baru,
aku ingin mengembangkan diriku, aku ingin menjadi mahasiswi yang di-doseni,
bukan mahasiswi yang men-doseni, dan aku tidak ingin berada di dalam tempat
yang membuatku nyaman, tapi aku ingin berada di tempat yang mampu membuatku
berkembang. Tapi apa? aku tidak berkembang di tempat ini. Aku justru terjatuh.
Sakit. Perih. Berdarah.
Pernah suatu hari, ketika aku kuliah, tapi Dosenku
belum datang, aku curhat dalam selembar kertas dengan menggunakan bahasa
Inggris. Aku menuliskan semua yang aku rasakan selama beberapa minggu aku
kuliah di Universitas X tersebut. Begini tulisannya:
"Sesungguhnya, hidup tak lagi hidup ketika kita tak lagi bersama."
(Putri Nur Indah Pratiwi)
I miss you
biology. I miss you chemistry. I miss you math. I miss you physic. I wanna go
home right now! Honestly, science lessons are more easy than anyone else. God,
please, help me to go out from this uncomfortable zone! God, please, let me to
creating what You would never design before!
God, this is not my life. I'm not me here. I don't
know why I can't to understand what accounting is. I'm nothing here! Why do I
still survive in this faculty? Because of Mathematical Economics! Ya, there's
math lesson here. Although this math isn't science math, but I still can
breathe until this moment. I love you math! You're my life. You're my soul. I
don't know if there isn't you, maybe... maybe... I don't know what should I
say.
The lecturer
rarely comes and teaches us. Unit of student's skill here are also very quiet.
There was no executive body of students, no college radio, no mosque, no
seminars with speakers from any ageny. From each faculty was also rare to hold
an events.
In 2014, I
wanna try something new! I wanna be a naughty daughter, God. Can I do it once,
God? Just once. I wanna join National College Entrance Selection State for the
second time. I wanna comeback to my life! I wanna choose University of
Indonesia for the Chemistry courses on the first choice. On the second choice,
I wanna choose University of Jenderal Soedirman for the Nursing courses. And,
on the third choice, I wanna choose State University of Semarang for the Public
Health Sciences courses. But, before that, I also wanna try at Academy Chemical
Analyst, God! Let me to do that, God! Please.
"Hadapi dengan senyuman. Semua yang terjadi, biar terjadi. Hadapi dengan tenang jiwa, semua kan baik-baik saja. Bila ketetapan Tuhan sudah ditetapkan, tetaplah sudah. Tak ada yang bisa merubah, dan takkan bisa berubah. Relakanlah saja ini, bahwa semua yang terbaik. Terbaik untuk kita semua, menyerahlah untuk menang."
(Dewa 19 -
Hadapi dengan Senyuman)
Rasa ke-tidak-betah-an-ku ini semakin menjadi-jadi
ketika aku memasuki UAS di bulan Januari 2014. Ketika UAS hari pertama,
semuanya masih baik-baik saja, walaupun aku mengerjakan soal dengan
asal-asal-an di mata kuliah Pengantar Akuntansi I. Maklum, sebagai mahasiswi
(mantan anak IPA) yang mengulang semua materinya dari awal, aku tidak cukup
mengerti dengan semuanya. Ditambah lagi, Dosen jarang hadir dan tidak mau tahu
apakah semua mahasiswanya mengerti materi atau tidak. So, jangan
salahkan aku kalau aku menjawab soal dengan mengarang bebas. Sakarep-ku.
UAS hari kedua, inilah keterjatuhanku selanjutnya. Aku
sakit. Tidak ada yang bisa memprediksi sebelumnya kalau hari Selasa aku sakit.
Untung saja kala itu aku masuk siang. Jadi aku bisa berobat di pagi harinya dan
berharap bisa sembuh di siang harinya. Tapi ternyata... nasib berkata lain. Aku
tidak bisa datang ujian. Orang tuaku menelpon pihak kampus untuk mengatakan
bahwa aku tidak bisa hadir karena sakit. Dan pihak kampus mengizinkan, tapi
dengan syarat harus ada surat dokter.
Saat itu juga kakak pertamaku bergerak cepat menuju
kampus dan menyerahkan surat tersebut kepada Kepala Prodi Akuntansi.
Keesokan harinya sampai hari terakhir ujian, aku masuk
seperti biasa ke kampus dan mengikuti ujian semampuku. Setelah hari terakhir
ujian selesai, aku merasa punya kewajiban untuk ujian susulan pengganti hari
Selasa saat aku sakit. Aku memberanikan diri menemui Kepala Prodi Akuntansi untuk
menanyakan kapan aku bisa ujian susulan.
Sesampainya di ruangan Beliau, you know what?
Ternyata suratnya masih tersimpan rapi di mejanya. Tidak terlihat adanya bekas
sobekan pada amplop tersebut. Kesimpulanku: Beliau memang sengaja menungguku
untuk menemuinya. Lalu, dengan nada tinggi Beliau membentakku dan membuat
seluruh seluruh mata di ruang dosen tertuju padaku.
"Kamu tahu, gak, kalau peraturan di sini gak
boleh gak masuk saat sakit?!"
"Gak tahu, Pak." Jawabku sambil menunduk.
"Siapa yang nyuruh kamu sakit? Hah?!"
"Lho, Pak. Sakit itu kan gak ada yang bisa
memprediksi. Buktinya hari Senin kemarin saya masih sehat dan bisa masuk."
Aku membela diri.
"Makanya jangan berbuat sesuatu yang membuat kamu
sakit!"
Aku hanya menunduk diam. Menahan semua emosi.
Sesampainya di rumah, aku menceritakan semuanya pada
ibuku. Dengan cucuran air mata, nafas yang sesak, dan nada bicara yang
terisak-isak, aku juga mengatakan keinginanku untuk secepatnya keluar dari
tempat itu dan pindah kuliah ke tempat lain. Tanpa berbasa-basi, ibuku segera
menelepon kakak pertamaku dan menceritakan hal ini. Kakakku pun segera
meninggalkan kantornya untuk pergi menemui Dosen yang bersangkutan dan
mengajukan pembelaan atas diriku. Setelah selesai menemui Dosen tersebut,
kakakku segera menelepon ibuku.
"Dosennya bilang kalau si Putri jangan sampai
berhenti dan keluar dari kampus. Terus si Putri disuruh menghadap lagi
sendirian ke ruangannya hari Kamis." Ucap kakakku.
"Gak akan mau si Putri datang lagi ke sana.
Apalagi sendirian." Jawab ibuku.
Semenjak kejadian itu, terhitung tanggal 21 Januari
2014, aku sudah memutuskan hubungan perkuliahan dengan Universitas X dan tidak
akan pernah mau untuk menginjakkan kaki lagi di Universitas X tersebut.
Aku memulai hidup dari awal. Aku bertekad bahwa tahun
2014 adalah tahun yang indah dan penuh rezeki untukku. Berhubung tidak ada
kampus yang membuka pendaftaran di semester genap, maka aku putuskan untuk
berdiam diri di rumah dan membantu pekerjaan rumah.
Aku berharap, tidak ada teman SMA-ku yang tahu tentang
hidupku yang kelam ini. Aku terlalu malu untuk bisa menceritakan semuanya.
Seperti ceritaku di 2014
: Be Creative, Be Wild, Be Out of the Box, Be Announcer!
aku ingin mewujudkan cita-cita masa kecilku menjadi seorang penyiar radio. Dengan berbekal pengetahuan cara membuat surat lamaran pekerjaan di masa SMA, aku memberanikan diri untuk melamar menjadi penyiar radio di dua radio berbeda yang berlokasi di Bekasi.
aku ingin mewujudkan cita-cita masa kecilku menjadi seorang penyiar radio. Dengan berbekal pengetahuan cara membuat surat lamaran pekerjaan di masa SMA, aku memberanikan diri untuk melamar menjadi penyiar radio di dua radio berbeda yang berlokasi di Bekasi.
Setelah dua kantor radio aku sambangi, sampai detik
ini, tidak ada sama sekali pemberitahuan kalau lamaranku diterima. Kenyataan
memang tidak akan semudah impian. Begitulah nasib.
Beberapa bulan telah berlalu. Tanpa terasa sudah dekat
dengan masa SBMPTN 2014. Entah mengapa, kembali terbesit dalam diri ini untuk
ikut berpartisipasi dalam seleksi Nasional tersebut.
"Yakin, nih, gue bisa lulus? Bekas luka
kemarin aja masih belum hilang. Yakin mau bikin luka baru?" Aku membatin.
Kebanyakan orang (termasuk aku) berpikir bahwa jika
ingin lulus SBMPTN dengan jurusan yang diinginkan, maka carilah PTN yang
terpelosok. Toh, semua PTN itu baik dan bagus. Why not?
Mulailah aku berpikir untuk mencari informasi tentang
SBMPTN 2014, prodi di tiap PTN, dan kuota yang disediakan. Berdasarkan hasil
pencarianku, aku mulai tertarik untuk menjadi peserta SBMPTN lagi. Jika tahun
lalu ujian diselenggarakan selama dua hari, maka tahun ini, ujiannya
dipersingkat menjadi satu hari saja. Biaya pendaftaran SBMPTN tahun ini pun
lebih murah ketimbang tahun lalu. Mulailah aku mengumpulkan uang [FYI: Aku
ingin membiayai pendaftaran SBMPTN tahun ini dengan uangku sendiri. Toh,
kalaupun nantinya aku tidak lulus, tidak akan sebegitu menyesakkan dada lagi]
sedikit demi sedikit.
Di SBMPTN tahun ini, aku bertindak sedikit nakal
terhadap orang tuaku. Aku tidak mengatakan kepada mereka PTN mana saja yang aku
pilih. Karena, kalaupun aku mengatakannya, mereka pasti tidak akan mengizinkan.
Anyway, PTN yang aku pilih untuk SBMPTN 2014 ini terdiri dari tiga PTN
dengan tiga prodi berbeda. Tidak sama dengan PTN dan prodi impian yang aku
tulis di curhat bahasa Inggris-ku di atas. Pilihan pertamaku adalah Universitas
Syiah Kuala dengan prodi farmasi, pilihan keduaku adalah Universitas Airlangga
dengan prodi teknobiomedik, dan pilihan ketigaku adalah Universitas Bengkulu
dengan prodi matematika. Dan aku pun mendaftarakan diri secara online.
Yang menjadi persamaan dengan tahun lalu adalah prodi prioritasku
tetap farmasi. Sedangkan yang menjadi lembaran baru tahun ini adalah lokasi
tiap PTN yang sangat jauh dari tempat tinggalku.
Entah mengapa, untuk SBMPTN tahun ini aku merasa
sangat santai dalam menjalaninya. Aku ikhlas apapun hasilnya. Aku sudah pernah
mengalami kepahitan di masa lalu dan aku harus bisa belajar dari pengalaman
kelam itu. Aku baru mulai membedah soal -yang masih aku simpan rapi- seminggu
sebelum SBMPTN. Santai sekali.
Pada saat ujian dilaksanakan, dengan santai, teliti,
dan memperhatikan waktu, aku mengerjakannya dengan ikhlas. Aku merasa, ujian
ini lebih mudah ketimbang ujianku setahun yang lalu. Aku berpikiran positif
kali ini. Tapi tetap, semuanya aku serahkan kepada Tuhan. Karena hanya Tuhan
yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu.
Tidak ingin lagi bersikap sombong dengan menghiraukan
PTS, beberapa hari setelah SBMPTN pun aku mengajak ibuku untuk mencari kampus
swasta yang ada prodi farmasi-nya. Tentunya di sekitar Bekasi, seperti
keinginan ibuku. Dan ternyata... ada! Tapi bukan Universitas, melainkan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes). Setelah bertanya-tanya, brosurnya pun aku bawa
pulang agar bisa dibicarakan dengan bapakku.
Setelah dikonsultasikan dengan bapakku, ternyata
Beliau kurang menyetujuinya. Menurutnya, selain karena biaya kuliah yang
terlalu mahal, track record dari kampusnya pun belum begitu baik.
Alhasil, aku tidak jadi memilih kampus ini.
Pencarian PTS kedua pun berlanjut. Kali ini adalah
universitas swasta -yang sudah cukup senior- di Jakarta. Aku ke sana atas
rekomendasi tetanggaku yang juga kuliah farmasi di universitas tersebut. Entah
mengapa, kali ini aku yang merasa kurang cocok. Daripada nantinya berakhir
seperti yang sudah-sudah, lebih baik aku hiraukan universitas tersebut.
Sebelum pencarian PTS ketiga berlanjut, tibalah
saatnya pengumuman SBMPTN 2014 secara online. Kala itu sedang dalam
bulan Ramadhan dan hasil akan diumumkan pada pukul 17.00 WIB. Butuh mental yang
kuat untuk bisa mengakses laman SBMPTN itu. Dan aku tidak cukup kuat untuk
melakukannya. Aku masih dibayang-bayangi oleh keterjatuhan di masa lalu yang
sangat sulit untuk dilupakan.
Akhirnya, aku sengaja mengundur-undur waktu dan
melupakannya sejenak. Aku fokus dengan waktu berbuka puasa, ibadah wajib, dan
ibadah sunnah lainnya yang dilakukan setelah berbuka puasa. Setelah pukul
20.30, aku masih belum memiliki mental kuat untuk bisa mengkses lama tersebut.
Alhasil, aku mengirim pesan kepada kakak keduaku agar ia saja yang mengakses
lamanku. Aku memberitahunya kode SBMPTN-ku dan tanggal lahirku agar laman dapat
diakses. Setelah tahu hasilnya, Beliau segera memberitahuku lewat pesang
singkat:
https://pengumuman.sbmptn.or.id/umum.php
Aku terdiam
dan mendapati diriku dengan wajah se-bengong-bengong-nya setelah membaca
pesan singkat tersebut. Speechless. Bukan hanya shock dengan
kenyataan yang baru saja aku lihat, tapi juga bingung dengan caraku memberitahu
orang tuaku. Apa yang harus aku katakan tentang hasil ini? Sementara berunding
saja tidak aku lakukan.
Akhirnya, dengan berat hati, aku memberitahu hasil ini
dan penjelasannya kepada orang tuaku. Shockingly entertaining!
Seperti yang sudah aku bayangkan, orang tuaku pasti
tidak akan menyetujuinya. Orang tuaku marah. Ya, aku memakluminya. Memang ini
semua adalah salahku. Tapi, cara apa lagi yang harus aku tempuh selain memilih
PTN yang terpelosok kalau aku ingin bisa lulus tes?
And you know what? Orang tuaku menyarankan aku untuk tidak menerima hasil
SBMPTN tersebut dan tetap kuliah di PTS. Ini lucu, bukan? Setahun yang lalu aku
begitu mengemis -sampai sebegitu sakit, perih, dan berdarahnya- untuk bisa
mendapatkan PTN lewat jalur yang telah ditentukan. Tapi kali ini? dengan
mudahnya aku melepas, menghiraukan, dan tidak menerima hasil itu? Dunia kini
sudah berputar.
Berhubung aku tidak menerima hasil SBMPTN itu,
mulailah aku mencari kampus PTS lain di Bekasi dengan prodi farmasi. Ternyata
tidak ada. But... wait! Ada satu kampus (STIKes) yang berdiri satu group
dengan rumah sakit dan menjamin mahasiswanya untuk disalurkan bekerja di
rumah sakit tersebut setelah lulus. Memang, sih, tidak ada prodi farmasi di
kampus ini, tapi ada D3 analis kesehatan. Dan aku tergiur untuk mencobanya.
Perjalanan pun dimulai. Aku -bersama ibu dan kakakku-
mendaftarkan diri langsung ke STIKes tersebut dan dengan mantap memilih prodi
D3 analis kesehatan. Beberapa hari setelah mendaftar, aku langsung ikut ujian
masuk yang terdiri dari tiga tahap: tes tulis (lewat komputer), tes kesehatan,
dan tes wawancara. Semua dilakukan dalam satu hari. Aku merasa nyaman dengan
lingkungan kampus ini. Tidak ada yang berpakaian ala cewek swag -yang
bahkan lebih layak disebut sebagai cewek yang mau shopping- di kampus.
Semuanya berseragam. Pun tidak ada yang merokok, mengingat ini
adalah kampus kesehatan.
Beberapa hari setelah ujian masuk, aku mendapat pesan
singkat dari kampus tersebut yang mengatakan bahwa aku lulus diterima sebagai
mahasiswi di STIKes yang bersangkutan dan berdasarkan hasil nilaiku yang di
atas rata-rata, aku direkomendasikan sebagai penerima beasiswa di STIKes
tersebut. What a nice info!
Setelah itu, aku kembali dikirimi pesan singkat yang
berisi tentang waktu dan tempat untuk mengikuti tes beasiswa. Rona bahagia
dengan senyum mengembang terpancar dari wajahku. Melupakan semua kepahitan di
masa lalu. Aku hidup kembali!
Hari di mana tes beasiswa pun tiba. Aku datang dengan
penuh semangat untuk masa depan yang cerah. Setelah tes beasiswa ini selesai,
aku diberitahu bahwa pengumuman kelulusan akan diinfokan lewat pesan singkat
atau telepon.
Tanpa menunggu lama, setelah aku sudah resmi menjadi
mahasiswi D3 analis kesehatan dan mengikuti perkuliahan, aku diberitahu secara
langsung bahwa aku mendapatkan beasiswa itu! Aku dibebaskan dari segala biaya
pendidikan selama tiga tahun dan bahkan aku sudah dikontrak ikatan dinas oleh
rumah sakit selama tujuh tahun pengabdian. Biaya semester 1 yang sudah dibayar
lunas pun akan diganti bulan Januari 2015. Aaaaahhhh! God! This is my life!
Saat ini aku sudah kembali pada hidupku yang dulu.
Langit yang semula menghitam, kini sudah kembali membiru. Bumi pun tersenyum
manis. Sudah tidak ada lagi awan mendung, karena kini warna-warni pelangi
disertai suara kicauan burung di pagi hari menghiasi setiap harinya.
Aku sudah bertemu kembali dengan kimia, biologi, dan fisika.
Aku kembali menghitung. Tidak ada kata tidak mengerti dengan pelajaran yang
diajarkan selama proses perkuliahan berlangsung. Jika perkuliahanku dulu Dosen
jarang masuk dan tugas jarang diberikan, kali ini Dosen selalu masuk on time
dan setiap harinya selalu disibukkan dengan tugas. Nilai yang aku peroleh
pun selalu di atas 80. Aku juga didaulat sebagai salah satu penanggung jawab
laboratorium praktik. Such a great honor!
Aku senang karena aku sudah bisa mengganti belasan
juta uang orang tuaku -yang kubuang dengan sia-sia setahun yang lalu- dengan
beasiswaku ini. Yang harus aku lakukan saat ini adalah buang jauh-jauh
kepahitan masa lalu dan belajar dengan giat agar nilaiku tidak turun dan
beasiswaku tidak dicabut.
Well, semua kejadian ini membuatku berpikir bahwa terlalu
berlebihan dan menggebu-gebu dalam mengejar sesuatu juga tidak baik. Karena
saking menggebunya, aku menghiraukan hal lain yang sebenarnya bisa aku
manfaatkan untuk melakukan hal lain yang lebih berarti. Time is money.
Sikap yang berlebihan juga membuat aku menjadi sombong, terjatuh, sakit, perih,
dan berdarah.
Saat ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa,
"Dunia, aku hidup kembali!"
No comments:
Post a Comment