Friday, February 20, 2015

Aing teh Kudu Naon?

Ada yang tahu, gimana rasanya berada dalam situasi dan kondisi di mana 'Lo maju, lo disiksa orang. Lo mundur, lo nyiksa orang'? GUE TAHU RASANYA.

Ya. Layaknya makan buah Simalakama. Serba salah. And I'm feeling it, now.

Lima bulan yang lalu, gue adalah orang yang paling excited tentang Beasiswa Ikatan Dinas di salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan di Bekasi. Gue belajar segiat mungkin. Gue berdoa di setiap waktu. Gue menangis dan bahkan menjerit kepada Sang Illahi Rabbi agar cita-cita gue -sebagai penerima beasiswa pendidikan sekaligus ikatan dinas- tercapai.

You know what? That was happened!

Ya. Senyum yang mengembang dan tawa yang riang menghiasi hari-hari gue ketika gue diberi tahu bahwasannya gue lulus setelah melewati beberapa tahapan tes demi beasiswa tersebut.
"Selamat! Anda direkomendasikan sebagai penerima Beasiswa Ikatan Dinas ..."
Bahkan, ketika salah seorang Dosen bertanya kepada kami selaku penerima beasiswa apakah kami berniat untuk mengambil beasiswa itu atau tidak, gue lah orang pertama yang meng-iya-kan akan mengambil beasiswa tersebut dan siap untuk mengikuti Ikatan Dinas selama 7 tahun di Rumah Sakit.

Hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan berjalan perlahan tapi pasti. Gue termenung, takut, dan suasana hati kacau seketika tatkala gue mendengar cerita salah seorang karyawan rumah sakit yang memarahi bawahannya dengan untaian kalimat bernada agak kasar cenderung mem-bully ketika kedatangan 'anak baru'.

Gue mulai bertanya-tanya dalam hati, "Apakah gue akan seperti itu nantinya? Tujuh tahun?"



Perlahan, gue mulai memotivasi diri sendiri bahwasannya gue kuat dan gue bisa melewati itu. Tapi, entah mengapa... that's so hard to do. Bayang-bayang omelan itu selalu terngiang-ngiang di kepala gue. Membuat gue menjadi sering melamun.

Ya. Tipe kepribadian gue yang merupakan seorang melankolis memang membuat gue menjadi perasa dan sangat berlebihan dalam memikirkan sesuatu.

Ketakutan gue akan bayang-bayang omelan itu masih mendera, sampai detik ini, ketika gue baru saja dipanggil menghadap salah seorang Dosen untuk mengambil berkas MoU terkait Beasiswa Ikatan Dinas gue selama 7 tahun.

"Ini berkasnya. Silakan dibaca dulu." Ucap sang Dosen sembari memberikan berkas tersebut kepada gue dan satu teman gue.

Ketika berkas ada di tangan, gue membaca dengan cermat dan teliti tiap pasal di tiap lembaran yang ada. Perhatian gue pun tertuju pada pasal 7 yang memberitahu gue di mana rumah sakit yang akan gue singgahi selama 7 tahun.

"Rumah sakit ini ..." Gue membatin.

Darah seolah berhenti mengalir, wajah pusat pasi, badan lemas seketika, dan dunia pun runtuh.

Gue akan singgah selama 7 tahun di rumah sakit yang peraturannya mewajibkan setiap karyawannya untuk tidak mengenakan kerudung.

Kalau gue orang yang terbiasa tanpa kerudung, mungkin gue nggak akan se-shock ini. Apa daya. Aing teh kudu naon?

Sampai tulisan ini di-posting pun, berkas beasiswa tersebut masih bersih. Belum terbubuhkan dengan tanda tangan gue maupun orang tua gue.

Gue udah mengatakan peraturan rumah sakit tersebut ke orang tua. Mereka menjawab santai, "Ya udah. Nanti diakalin aja. Pakai aja rambut palsu. Jadi rambut aslimu tetap gak kelihatan"

Entah mengapa, ucapan tersebut seolah masuk-kuping-kanan-keluar-kuping-kiri. Sama sekali nggak berbekas.

Yang ada di kepala gue sekarang adalah, "Gimana kalau nanti gue udah kerja di rumah sakit, terus ada teman atau tetangga gue yang biasanya ngeliat gue berkerudung tapi ketika mereka mungkin sedang menjenguk atau mengantar orang ke rumah sakit tempat gue bekerja, justru melihat gue tanpa kerudung?"

Di sisi lain, gue juga terjebak dengan kondisi keuangan keluarga. Biaya kuliah di swasta apalagi jurusannya kesehatan bukanlah biaya yang murah, Bung!

Bapak gue, Januari 2016 akan mengalami masa pensiun.

Bukannya duit pensiun bisa dipakai buat bayar kuliah?

Iya. Tapi langsung habis.

Kok gitu?

Pabrik tempat bapak gue kerja udah mulai merosot keuangannya. Banyak karyawan yang harusnya udah masuk masa pensiun, tapi masih tetap dipekerjakan karena perusahaan gak punya duit buat bayar uang pensiun. Kalaupun dibayar, pasti dicicil. Gak langsung brek sekian ratus juta dikasih. Belum lagi, emak gue udah punya rencana untuk buka usaha kuliner kalau bapak gue udah pensiun. Modalnya? Ya dari uang pensiunan itu.

Pedih, ya.

Kalau gue ngambil beasiswa itu, ya gue harus ngebuka kerudung gue dan siap diomelin selama 7 tahun. Kalau gue nggak ngambil beasiswa itu, berarti gue harus bayar kuliah sendiri sementara bapak gue tahun depan pesiun.

Seperti yang diucapkan Pak Mario Teguh, "Bukan setiap masalah ada jalan keluarnya. Tapi setiap jalan keluar ada masalahnya."

Aing teh kudu naon?

No comments: