"Suatu kali hidup melambungkanmu setinggi langit, kali lainnya hidup menghempaskanmu begitu keras ke bumi."
(Ilana Tan, Autumn in Paris)
Ada yang tahu bagaimana rasanya jatuh ke dalam
kesalahan terburuk -layaknya jatuh ke dalam jurang terdalam- dalam hidup?
Aku tahu rasanya.
Sakit. Perih. Berdarah.
Setahun yang lalu, sakit itu menderaku. Sebagai
seorang siswi kelas XII SMA, hari-hari-ku disibukan dengan belajar, belajar,
dan belajar. Baik belajar untuk Ujian Nasional maupun Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Kala itu, aku termasuk salah satu siswi yang
sangat mengidam-idamkan menjadi mahasiswi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Tiap
kali ada brosur dari Perguruan Tinggi Swasta, selalu aku hiraukan. Karena
tujuanku satu: Aku adalah calon mahasiswi Perguruan Tinggi Negeri 2013.
Perjalanan pertamaku dimulai. Aku mendaftarkan diri
sebagai salah satu peserta "Undangan" [baca: sistem penerimaan
mahasiswa baru PTN lewat seleksi nilai rapor dan tanpa tes] masuk Perguruan
Tinggi Negeri 2013. Dengan percaya dirinya, aku mendaftarkan diri secara online
dan mengikuti tahap demi tahap pengisian form yang disediakan.
"Undangan ini sifatnya keberuntungan, lho, ya.
Jangan pernah menganggap teman yang sehari-harinya menurut kamu kurang layak,
lalu gak lulus undangan. Bisa saja dia yang beruntung sedangkan kamu tidak.
Pilihlah jurusan yang kamu sukai. Jangan melihat PTN-nya. Semua PTN itu baik
dan bagus." Tegas Pak Nasahi, guru Bimbingan Konseling di SMA-ku dulu.
Masih segar dalam ingatanku, kala itu, aku memilih dua
PTN dengan dua program studi (prodi) di masing-masing PTN. Pilihan pertamaku
adalah Universitas Padjadjaran dengan prodi farmasi dan teknologi pangan.
Sedangkan pilihan keduaku adalah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan prodi
farmasi dan kesehatan masyarakat. Dilihat dari prodi yang dipilih, aku
cenderung memilih farmasi sebagai prodi prioritas. Mengapa? Karena farmasi itu
berhubungan dengan kimia. Dan segala yang berbau kimia itu menyenangkan,
menurutku.